Induk kucing itu mukanya mengiba, matanya sayu. Dia kelelahan mengeong. Memanggil-manggil anak-anaknya. Kasihan sekali dia. Sejak 3 hari yang lalu, ketiga anaknya yang manis-manis itu tak terlihat bersamanya.
Biasanya, kucing-kucing itu selalu terlihat ceria bermain-main di teras rumah kontrakanku. Melonjak-lonjak girang kesana kemari. Jika kelelahan, kucing-kucing itu biasanya tergeletak di depan pintu gerbang. Terkadang menyusahkan orang yang akan lewat. Tidur telentang tanpa rasa bersalah. Dan itu membuatku selalu tertarik untuk menggoda kucing-kucing tersebut dan ingin ikut bermain dengan mereka.
Sering juga anak-anak kucing itu memain-mainkan pelastik hitam dan mengangapnya seolah-olah benda hidup yang bisa bergerak dan berterbangan. Diperebutkan sampai berlarian jungkir balik dan melonjak-lonjak demi mengejar plastik yang terterpa angin itu.”Haha lucu sekali” ujarku dalam hati.
Namun kini, suasana ceria itu tak telihat disini. Kemanakah ketiga anak kucing yang manis-manis itu pergi? Apakah ada kucing garong yang masuk ke dalam rumah kontrakanku dan memakan ketiganya? Ataukah ada tangan jahil yang memindahkan kucing-kucing itu dari tempat biasanya?...
“miaww….miauuuww…” Terdengar suara kucing kecil mengeong jari kejauhan.
Sang induk kucing terus menajamkan pendengarannya dan terus mengawasi situasi di sekitar tempat itu. Barangkali yang ia dengar adalah suara anaknya. Ia berlari kesana-kemari. Bingung sendiri tak tentu arah. Sang induk kembali mengeong keras sekali. Sepertinya induk kucing itu stress karena kehilangan anak-anak manisnya.
“meooong…” Induk kucing itu mendekatiku. Sepertinya ia hendak mengadukan kegundahan hati yang sedang ia rasakan.
“iya manis…aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang, tapi… cobalah tenang sejenak…” Induk kucing itu terus menatapku sambil tak berhenti mengeong.
“nanti aku akan membantumu mencari anak-anak manismu” aku melanjutkan pembicaraanku mencoba memberi pengertian pada induk kucing yang malang itu.
Aku tak tahu apakah induk kucing itu mengerti perkataanku atau tidak. Tapi yang kuherankan, setelah aku selesai berbicara panjang lebar dengannya, induk kucing itu berhenti mengeong dan duduk tenang tepat di sisiku sambil menatapku layu. Dari pandangannya, kulihat seolah ia memintaku menolongnya untuk mencari anak-anaknya yang manis itu.
Sebenarnya aku juga merasa kehilangan. Sebab, walaupun kucing itu bukan sepenuhnya milikku, tapi aku sangat menyayanginya. Bagaimana tidak? Induk kucing itu tanpa sengaja melahirkan anak-anak manisnya di kardus buku-bukuku. Waktu itu aku lupa menutup kardus bukuku setelah mengambil buku yang kuperlukan. Walaupun aku harus membersihkan kardusku dan memindahkan kucing itu ke tempat lain, aku tetap merasa puas. Karena secara tidak langsung, aku sudah turut membantu persalinannya. Menyaksikan dan menyemangati kucing itu di saat ia melahirkan sampai selesai. Merasa sudah Seperti dokter hewan saja aku ini. Tak apalah, walau bukan dokter hewan, aku adalah pecinta binatang. Dan pasti aku akan membantu sebisaku jika melihat binatang yang sedang kesusahan.
Dari dulu keluargaku mengajarkanku agar menyayangi binatang. terlebih binatang peliharaan seperti kucing. Waktu aku kecil, aku sering membawa kucingku untuk tidur di kasur bersamaku. Terkadang memang keterlaluan sikapku saking sayangnya aku pada binatang peliharaan seperti kucing ini. Kadang-kadang Aku sampai dimarahin Bunda sampai menangis gara-gara sikapku yang keterlaluan. Aku bahkan sampai mencium kucing, memandikannya, dan mengajak makan bersama dalam satu piring. Sekarang aku tahu, Bunda marah bukan karena Beliau tidak sayang padaku, Bunda hanya khawatir terhadap kesehatanku.
Bunda juga sering menceritakan tentang kisah para sahabat Rasulullah SAW yang mana kisah-kisah mereka merupakan teladan dalam bersikap dan berprilaku sehari-hari. Salah satu kisah yang Bunda ceritakan padaku adalah kisah Abu Hurairah r.a yang sangat menyayangi kucing. Hingga pada suatu saat ketika ia hendak melaksanakan shalat, ketika itu ada seekor kucing yang sedang tidur nyenyak diatas sajadahnya. Apa yang beliau lakukan? Ia tidak membangunkan kucing tersebut. Ia lebih memilih untuk memotong sebagian sajadahnya yang tak terpakai tidur oleh kucing. Kemudian menggunakan potongan sajadahnya untuk shalat. Sehingga kucing yang tidur di atas sajadahnya tidak terganggu tidurnya. Karena Ia sangat menyayangi kucing, ia di beri gelar “Abu Hurairah” yang artinya “Bapak kucing”. Subhanalloh, mendengar cerita Bunda tentang kisah Abu Hurairah r.a tersebut aku langsung terinspirasi untuk menyayangi binatang. Terutama kucing.
“miaw….miaew….” Suara anak kucing kecil itu terdengar lagi.
“sebentar yah manis…. Aku akan mencoba mencarikananak-anakmu” Aku mencoba berbicara pada Induk kucing. Memberinya pengertian. Dan entah bisa atau tidak, aku sangat mengharapkan induk kucing itu memahami perkataanku.
Kutelusuri asal suara kucing kecil itu. Semakin dekat semakin terdengar jelas suaranya. Namun wujudnya tak nampak sejak tadi. Ditengah pencarianku, aku bertemu dengan sekelompok anak-anak yang berusia sekitar enam tahun-an sedang bermain.
“dek, kamu dengar suara kucing kecil itu tidak?” Aku bertanya pada salah satu adik kecil yang kebetulan posisinya paling dekat denganku.
“dengar kak…” Anak kecil itu menjawab sambil tersenyum padaku.
“Kamu tahu gak dimana anak kucing itu?
“itu kucingku kak… tiga hari yang lalu aku menemukannya di jalan raya dekat gang III. Kakinya berdarah” Anak kecil itu menjelaskan panjang lebar mengenai kucing yang ia temukan di jalan raya itu. Aku hanya mendengarkan penjelasannya sambil manggut-manggut dan sesekali tersenyum. Ia terus bercerita hingga akhirnya aku yakin bahwa kucing yang ada dirumahnya itu adalah salah satu dari tiga anak kucing yang sedang dicari-cari oleh induknya. Ya. Kucing yang selama ini tinggal di rumah kontrakanku.
“kakak boleh tengok kucingnya gak dek?” rayuku pada Anak kecil tadi.
Dari penuturannya sedari tadi, sepertinya dia tidak akan rela apabila kucing itu dipisahkan darinya. Selain kerena ia telah menolong kucing itu, ia pun bilang padaku bahwasannya ia ingin mempunyai seekor kucing. Sudah lama sekali.
“emmh boleh, tapi kakak janji dulu ya…” anak kecil itu menatapku serius.
“Kakak jangan ambil kucingnya ya…! Aku sayang kali ma dia kak!” lanjutnya sambil kembali sibuk menata mainannya BP-annya. Ternyata sebenarnya dia tahu, kalau kucing itu adalah kucing yang ada dikontrakanku. Ia pernah melihatnya ketika sedang lewat di depan rumah kontrakanku.
Suasana sulit sekarang sedang menderaku. Aku sangat mengerti bagaimana perasaan anak kecil itu. Aku juga pernah merasakannya dulu waktu aku masih kecil. Ada suatu kejadian yang sampai sekarang masih sering terbayang olehku. Suatu kejadian yang mengajariku bagaimana menyayangi binatang.
Waktu masih kecil aku pernah memaksa Bunda mengambil seekor anak kucing untuk kumiliki. Dulu aku memaksa Bunda memisahkan anak kucing itu dengan induknya. Anak kucing itu masih kecil sekali. Masih menyusu pada induknya. Walaupun aku tahu itu, aku tetap ingin memiliki kucing kecil tersebut. Kupikir aku dapat menghidupinya dengan caraku sendiri. Dengan mengurungnya di rumahku dan memisahkannya dari induknya sendiri.
Tapi aku salah. Setelah genap enam hari hari kucing itu bersamaku, selama itu pula ia tak mau makan. Aku tetap bersikeras untuk tidak mengembalikan kucing itu pada induknya. Dan berusaha merawatnya sendiri. Padahal Bunda sudah membujukku agar mengembalikannya pada induknya. Aku tetap tak mau mendengarkan kata-kata Bundaku. Waktu itu usiaku baru kira-kira 6 tahun. Sama seperti adik tadi. Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu kucing kecil itu, selain tak mau makan, iapun tak mau bernafas lagi. Ia mati. Aku sangat menyesal. Kejadian itu membuat aku sadar. Bukan begitu caranya menyayangi binatang. Apalagi sampai memisahkannya dari induknya. Itu namanya bukan menyayangi, tapi menyiksa.
“Adek…adek tau gak? Induknya kucing kecil itu sedang mencari-cari anaknya dari kemaren. Ia terus mengeong” Aku mencoba membujuk adik kecil itu lagi. Persis seperti yang Bunda lakukan padaku dulu.
“adik dengar juga kan kalo kucing kecil itu mengeong terus dari kemaren…?”, “dia itu sedang merindukan Ibunya…”
“emmm…” Adik kecil itu kelihatan seperti sedang memikirkan apa yang kukatakan barusan.
“Ayolah dek…! Izinkan kakak membawa kucing kecil itu kembali pada induknya” Aku bergumam dalam hati sambil terus berharap. Aku tak mau kejadian itu terulang lagi.
Adik kecil itu tetap pada pendiriannya. Lagi-lagi Sama seperti tindakan yang kulakukan dulu. Waktu Bunda membujukku. Dan aku kehabisan kata-kata untuk membujuknya. Hari ini aku tidak berhasil mengembalikan kucing kecil itu pada induknya. Begitu seterusnya sampai hari ke lima. Aku tetap belum bisa membujuk adik kecil untuk mengembalikan anak kucing itu pada induknya. Kupikir, waktuku tinggal satu hari lagi. Aku harus bisa memberi pengertian pada adik kecil itu agar mengembalikan anak kucing pada induknya.
Hari ke-enam, aku kembali datang menemui adik kecil yang membawa kucing kecil itu. kali ini malah dia lebih dahulu menghampiriku. Adik kecil itu mengadu padaku.
“Kak..! kucing kecilnya ga mau makan. Luka di kakinya semakin parah…”Ungkapnya sambil bersedih.
Aku semakin khawatir. Aku berharap, ini adalah saat yang tepat membujuk adik kecil itu agar mau memberikan kucing kecilnya padaku untuk kukembalikan pada induknya.
“hayoo… sekarang gemana?.. adik sayang sama kucing kecil itu kan?..” Aku terus berharap.
“nanti kalo dibiarin terus kucingnya mati lho,,.. kalo itu terjadi, berarti adek ga sayang ma dia donk!”
Setelah aku berbicara panjang lebar akhirnya aku berhasil. Si adik mau memberikan kucingkecilnya untuk disatukan kembali dengan induknya.
“Nah… itu baru adik manis…” kataku seraya tersenyum.
“besok kalo adek mau maen-maen ma kucingnya, datang aja ke rumah kontrakan kakak ya,..! Adik tau rumah kakak kan?”
Adik itu mengangguk dan aku sangat gembira. Dari matanya, aku bisa membaca sebenarnya dia masih tidak rela menyerahkan kucing kecilnya itu. Tapi itu bukan masalah yang besar. Aku pasti bisa mengatasinya dengan mengizinkannya menjenguk kucing kecil itu di tempat dimana induknya berada.
Hufh… Akhirnya aku bisa mengembalikan anak kucing itu bersama induknya lagi. Untung saja belum terlambat. Jika terlambat, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kejadian waktu aku kecil itu sampai terulang lagi. Dan itu artinya aku tidak bisa menyayangi kucing yang merupakan salah satu binatangkesayangan Rasulullah S.A.W itu.
Biasanya, kucing-kucing itu selalu terlihat ceria bermain-main di teras rumah kontrakanku. Melonjak-lonjak girang kesana kemari. Jika kelelahan, kucing-kucing itu biasanya tergeletak di depan pintu gerbang. Terkadang menyusahkan orang yang akan lewat. Tidur telentang tanpa rasa bersalah. Dan itu membuatku selalu tertarik untuk menggoda kucing-kucing tersebut dan ingin ikut bermain dengan mereka.
Sering juga anak-anak kucing itu memain-mainkan pelastik hitam dan mengangapnya seolah-olah benda hidup yang bisa bergerak dan berterbangan. Diperebutkan sampai berlarian jungkir balik dan melonjak-lonjak demi mengejar plastik yang terterpa angin itu.”Haha lucu sekali” ujarku dalam hati.
Namun kini, suasana ceria itu tak telihat disini. Kemanakah ketiga anak kucing yang manis-manis itu pergi? Apakah ada kucing garong yang masuk ke dalam rumah kontrakanku dan memakan ketiganya? Ataukah ada tangan jahil yang memindahkan kucing-kucing itu dari tempat biasanya?...
“miaww….miauuuww…” Terdengar suara kucing kecil mengeong jari kejauhan.
Sang induk kucing terus menajamkan pendengarannya dan terus mengawasi situasi di sekitar tempat itu. Barangkali yang ia dengar adalah suara anaknya. Ia berlari kesana-kemari. Bingung sendiri tak tentu arah. Sang induk kembali mengeong keras sekali. Sepertinya induk kucing itu stress karena kehilangan anak-anak manisnya.
“meooong…” Induk kucing itu mendekatiku. Sepertinya ia hendak mengadukan kegundahan hati yang sedang ia rasakan.
“iya manis…aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang, tapi… cobalah tenang sejenak…” Induk kucing itu terus menatapku sambil tak berhenti mengeong.
“nanti aku akan membantumu mencari anak-anak manismu” aku melanjutkan pembicaraanku mencoba memberi pengertian pada induk kucing yang malang itu.
Aku tak tahu apakah induk kucing itu mengerti perkataanku atau tidak. Tapi yang kuherankan, setelah aku selesai berbicara panjang lebar dengannya, induk kucing itu berhenti mengeong dan duduk tenang tepat di sisiku sambil menatapku layu. Dari pandangannya, kulihat seolah ia memintaku menolongnya untuk mencari anak-anaknya yang manis itu.
Sebenarnya aku juga merasa kehilangan. Sebab, walaupun kucing itu bukan sepenuhnya milikku, tapi aku sangat menyayanginya. Bagaimana tidak? Induk kucing itu tanpa sengaja melahirkan anak-anak manisnya di kardus buku-bukuku. Waktu itu aku lupa menutup kardus bukuku setelah mengambil buku yang kuperlukan. Walaupun aku harus membersihkan kardusku dan memindahkan kucing itu ke tempat lain, aku tetap merasa puas. Karena secara tidak langsung, aku sudah turut membantu persalinannya. Menyaksikan dan menyemangati kucing itu di saat ia melahirkan sampai selesai. Merasa sudah Seperti dokter hewan saja aku ini. Tak apalah, walau bukan dokter hewan, aku adalah pecinta binatang. Dan pasti aku akan membantu sebisaku jika melihat binatang yang sedang kesusahan.
Dari dulu keluargaku mengajarkanku agar menyayangi binatang. terlebih binatang peliharaan seperti kucing. Waktu aku kecil, aku sering membawa kucingku untuk tidur di kasur bersamaku. Terkadang memang keterlaluan sikapku saking sayangnya aku pada binatang peliharaan seperti kucing ini. Kadang-kadang Aku sampai dimarahin Bunda sampai menangis gara-gara sikapku yang keterlaluan. Aku bahkan sampai mencium kucing, memandikannya, dan mengajak makan bersama dalam satu piring. Sekarang aku tahu, Bunda marah bukan karena Beliau tidak sayang padaku, Bunda hanya khawatir terhadap kesehatanku.
Bunda juga sering menceritakan tentang kisah para sahabat Rasulullah SAW yang mana kisah-kisah mereka merupakan teladan dalam bersikap dan berprilaku sehari-hari. Salah satu kisah yang Bunda ceritakan padaku adalah kisah Abu Hurairah r.a yang sangat menyayangi kucing. Hingga pada suatu saat ketika ia hendak melaksanakan shalat, ketika itu ada seekor kucing yang sedang tidur nyenyak diatas sajadahnya. Apa yang beliau lakukan? Ia tidak membangunkan kucing tersebut. Ia lebih memilih untuk memotong sebagian sajadahnya yang tak terpakai tidur oleh kucing. Kemudian menggunakan potongan sajadahnya untuk shalat. Sehingga kucing yang tidur di atas sajadahnya tidak terganggu tidurnya. Karena Ia sangat menyayangi kucing, ia di beri gelar “Abu Hurairah” yang artinya “Bapak kucing”. Subhanalloh, mendengar cerita Bunda tentang kisah Abu Hurairah r.a tersebut aku langsung terinspirasi untuk menyayangi binatang. Terutama kucing.
“miaw….miaew….” Suara anak kucing kecil itu terdengar lagi.
“sebentar yah manis…. Aku akan mencoba mencarikananak-anakmu” Aku mencoba berbicara pada Induk kucing. Memberinya pengertian. Dan entah bisa atau tidak, aku sangat mengharapkan induk kucing itu memahami perkataanku.
Kutelusuri asal suara kucing kecil itu. Semakin dekat semakin terdengar jelas suaranya. Namun wujudnya tak nampak sejak tadi. Ditengah pencarianku, aku bertemu dengan sekelompok anak-anak yang berusia sekitar enam tahun-an sedang bermain.
“dek, kamu dengar suara kucing kecil itu tidak?” Aku bertanya pada salah satu adik kecil yang kebetulan posisinya paling dekat denganku.
“dengar kak…” Anak kecil itu menjawab sambil tersenyum padaku.
“Kamu tahu gak dimana anak kucing itu?
“itu kucingku kak… tiga hari yang lalu aku menemukannya di jalan raya dekat gang III. Kakinya berdarah” Anak kecil itu menjelaskan panjang lebar mengenai kucing yang ia temukan di jalan raya itu. Aku hanya mendengarkan penjelasannya sambil manggut-manggut dan sesekali tersenyum. Ia terus bercerita hingga akhirnya aku yakin bahwa kucing yang ada dirumahnya itu adalah salah satu dari tiga anak kucing yang sedang dicari-cari oleh induknya. Ya. Kucing yang selama ini tinggal di rumah kontrakanku.
“kakak boleh tengok kucingnya gak dek?” rayuku pada Anak kecil tadi.
Dari penuturannya sedari tadi, sepertinya dia tidak akan rela apabila kucing itu dipisahkan darinya. Selain kerena ia telah menolong kucing itu, ia pun bilang padaku bahwasannya ia ingin mempunyai seekor kucing. Sudah lama sekali.
“emmh boleh, tapi kakak janji dulu ya…” anak kecil itu menatapku serius.
“Kakak jangan ambil kucingnya ya…! Aku sayang kali ma dia kak!” lanjutnya sambil kembali sibuk menata mainannya BP-annya. Ternyata sebenarnya dia tahu, kalau kucing itu adalah kucing yang ada dikontrakanku. Ia pernah melihatnya ketika sedang lewat di depan rumah kontrakanku.
Suasana sulit sekarang sedang menderaku. Aku sangat mengerti bagaimana perasaan anak kecil itu. Aku juga pernah merasakannya dulu waktu aku masih kecil. Ada suatu kejadian yang sampai sekarang masih sering terbayang olehku. Suatu kejadian yang mengajariku bagaimana menyayangi binatang.
Waktu masih kecil aku pernah memaksa Bunda mengambil seekor anak kucing untuk kumiliki. Dulu aku memaksa Bunda memisahkan anak kucing itu dengan induknya. Anak kucing itu masih kecil sekali. Masih menyusu pada induknya. Walaupun aku tahu itu, aku tetap ingin memiliki kucing kecil tersebut. Kupikir aku dapat menghidupinya dengan caraku sendiri. Dengan mengurungnya di rumahku dan memisahkannya dari induknya sendiri.
Tapi aku salah. Setelah genap enam hari hari kucing itu bersamaku, selama itu pula ia tak mau makan. Aku tetap bersikeras untuk tidak mengembalikan kucing itu pada induknya. Dan berusaha merawatnya sendiri. Padahal Bunda sudah membujukku agar mengembalikannya pada induknya. Aku tetap tak mau mendengarkan kata-kata Bundaku. Waktu itu usiaku baru kira-kira 6 tahun. Sama seperti adik tadi. Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu kucing kecil itu, selain tak mau makan, iapun tak mau bernafas lagi. Ia mati. Aku sangat menyesal. Kejadian itu membuat aku sadar. Bukan begitu caranya menyayangi binatang. Apalagi sampai memisahkannya dari induknya. Itu namanya bukan menyayangi, tapi menyiksa.
“Adek…adek tau gak? Induknya kucing kecil itu sedang mencari-cari anaknya dari kemaren. Ia terus mengeong” Aku mencoba membujuk adik kecil itu lagi. Persis seperti yang Bunda lakukan padaku dulu.
“adik dengar juga kan kalo kucing kecil itu mengeong terus dari kemaren…?”, “dia itu sedang merindukan Ibunya…”
“emmm…” Adik kecil itu kelihatan seperti sedang memikirkan apa yang kukatakan barusan.
“Ayolah dek…! Izinkan kakak membawa kucing kecil itu kembali pada induknya” Aku bergumam dalam hati sambil terus berharap. Aku tak mau kejadian itu terulang lagi.
Adik kecil itu tetap pada pendiriannya. Lagi-lagi Sama seperti tindakan yang kulakukan dulu. Waktu Bunda membujukku. Dan aku kehabisan kata-kata untuk membujuknya. Hari ini aku tidak berhasil mengembalikan kucing kecil itu pada induknya. Begitu seterusnya sampai hari ke lima. Aku tetap belum bisa membujuk adik kecil untuk mengembalikan anak kucing itu pada induknya. Kupikir, waktuku tinggal satu hari lagi. Aku harus bisa memberi pengertian pada adik kecil itu agar mengembalikan anak kucing pada induknya.
Hari ke-enam, aku kembali datang menemui adik kecil yang membawa kucing kecil itu. kali ini malah dia lebih dahulu menghampiriku. Adik kecil itu mengadu padaku.
“Kak..! kucing kecilnya ga mau makan. Luka di kakinya semakin parah…”Ungkapnya sambil bersedih.
Aku semakin khawatir. Aku berharap, ini adalah saat yang tepat membujuk adik kecil itu agar mau memberikan kucing kecilnya padaku untuk kukembalikan pada induknya.
“hayoo… sekarang gemana?.. adik sayang sama kucing kecil itu kan?..” Aku terus berharap.
“nanti kalo dibiarin terus kucingnya mati lho,,.. kalo itu terjadi, berarti adek ga sayang ma dia donk!”
Setelah aku berbicara panjang lebar akhirnya aku berhasil. Si adik mau memberikan kucingkecilnya untuk disatukan kembali dengan induknya.
“Nah… itu baru adik manis…” kataku seraya tersenyum.
“besok kalo adek mau maen-maen ma kucingnya, datang aja ke rumah kontrakan kakak ya,..! Adik tau rumah kakak kan?”
Adik itu mengangguk dan aku sangat gembira. Dari matanya, aku bisa membaca sebenarnya dia masih tidak rela menyerahkan kucing kecilnya itu. Tapi itu bukan masalah yang besar. Aku pasti bisa mengatasinya dengan mengizinkannya menjenguk kucing kecil itu di tempat dimana induknya berada.
Hufh… Akhirnya aku bisa mengembalikan anak kucing itu bersama induknya lagi. Untung saja belum terlambat. Jika terlambat, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kejadian waktu aku kecil itu sampai terulang lagi. Dan itu artinya aku tidak bisa menyayangi kucing yang merupakan salah satu binatangkesayangan Rasulullah S.A.W itu.
Ditulis oleh: Nurainun
Sumber: http://nurainunsyah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar